Tuesday, April 28, 2015

7 Layar dalam Sakral "PINISI"

      Pinisi. Sekilas dalam benak kita akan muncul bayangan sebuah kapal megah dengan tujuh layar sebagai ciri khasnya. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui apa itu Pinisi. Pinisi adalah kapal layar tradisional khas yang berasal dari desa Tanah Beru kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. 

      Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar, dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.

 Kapal Pinisi dikembangkan menjadi sebuah wisata yang mewah, milik Aman Resort di Raja Ampat.

      Dalam bukunya yang berjudul Pinisi, Arif Saenong, budayawan Bulukumba, menjelaskan bahwa sejarah terbentuknya Pinisi begitu panjang. Pinisi bukanlah sebuah kapal yang memang sengaja dibentuk sedemikian rupa, melainkan berawal dari kejadian yang cukup tragis. 

      Sawerigading yakni seorang pemuda dari Kerajaan Luwu lah yang pertama kali menjadi pencetus kapal Pinisi. Nah ia berlayar menuju Tiongkok untuk meminang seorang gadis. Singkat cerita pada saat ia akan kembali ke kampung halamanya lagi kapal yang ditungganginya rusak akibat hantaman ombak. Kapal tersebut terpecah menjadi beberapa bagian dan Sawerigading yang kemudian terdampar di 3 desa yaitu desa Ara, Lemo-lemo dan Bira. Penduduk dari ketiga desa ini kemudian merakit kembali pecahan-pecahan kapal dan kemudian dinamakan Kapal Pinisi.

Ilustrasi gambar Sawerigading
 
     Orang Ara ahli dalam pembuatan limbung badan kapal karena bagian badan kapal tersebut terdampar di Ara. Orang Tana Lemo ahli dalam merajut dan merangkai layar karna bagian dari layar kapal Sawerigading ditemukan di daerah ini sedangkan orang Bira dikenal dengan pelaut ulung karena jasad Sawerigading terdampar di pesisir Bira.

      Filosofi Pinisi sangat sulit untuk kita selami, tapi tidak mustahil untuk kita pelajari. Pinisi tidak sama dengan kapal yang lain pada umumnya. Jika proses pembuatan kapal sekarang lebih modern sehingga proses pembuatannya semakin praktis, tidak dengan Pinisi. Pengrajin kapal atau yang sering disebut Panrita Lopi masih menggunakan peralatan tradisional dan seadanya bahkan tidak sedikitpun tersentuh dengan peralatan praktis yang lebih canggih.

      Mengapa demikian? Alasan mereka Simple, agar ciri khas dari Pinisi tersebut tetap tersentuh ke dalam jiwa para pelayarnya. Dengan tetap mempertahankan cara kerja mereka, mereka percaya Pinisi mampu mengarungi samudera dengan gagahnya.

 Panrita Lopi sedang membuat limbung kapal.

     Pembuatan Pinisi cukup unik, pemotongan kayu pertama dilakukan oleh Punggawa (ahli atau pawang perahu). Kemudian, papan kayu di pasang satu persatu membentuk kapal.

      Setelah setengah jadi, bingkai dipasang sesuai dengan bentuk dan lengkungan kayu yang sudah terpasang. Keunikan yang lain dari pembuatan pinisi adalah mereka tidak menggunakan paku untuk memasang badan kapal ke bingkainya, melainkan menggunakan sisa kayu dari pembuatan kapal tersebut.

     Ada juga ritual yang mengiringi proses pembuatan kapal Pinisi. Diawali dengan upacara pemotongan lunas (balok yang memanjang di bagian dasar perahu) yang dipimpin oleh Panrita Lopi.

      Sesaji yang menjadi syarat ritual pun harus tersedia, berupa jajanan yang manis dan seekor ayam jago putih yang sehat. Jajanan manis sebagai lambang agar pemilik perahu mendapatkan keuntungan yang banyak. Darah ayam jago putih dioleskan ke lunas perahu sebagai simbol sebuah harapan agar tidak ada darah yang tumpah di atas perahu yang akan dibuat.

    Upacara kemudian dilanjutkan dengan kepala tukang yang memotong kedua ujung lunas dan memberikan potongan-potongan itu kepada pemimpin pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan dibuang ke laut sebagai simbol harapan agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan.

     Sedangkan potongan ujung lunas belakang dibuang ke darat sebagai lambang bahwa meskipun perahu berlayar jauh ke lautan tetapi pada akhirnya akan kembali lagi dengan selamat ke daratan. Upacara akan diakhiri dengan kumandang doa-doa kepada Sang Pencipta yang juga dilakukan oleh Panrita Lopi.

     Harga setiap kapal pinisi ditentukan oleh ukuran dan bentuk kapal, serta bahan yang akan digunakan. Biasanya kapal yang dipesan untuk kapal pesiar dengan ukuran yang lebih besar harganya mencapai miliaran rupiah. Pembuatan satu buah kapal pinisi dibutuhkan jangka waktu selama satu hingga dua tahun dengan pekerja atau disebut sawi sebanyak 10 orang. Mereka dipimpin oleh punggawa atau kepala tukang.

      Setiap proses pembuatannya selalu memiliki makna yang cukup penting. Keskralan Pinisi tidak dapat diragukan lagi. Mungkin  banyak yang tidak percaya akan hal ini, tapi keyakinan ini sudah mendarah daging dalam tubuh para panritanya. 

      Arif Saenong dalam kesempatanya di suatu seminar yang pernah diadakan di Bulukumba menjelaskan bahwa, penulisan Pinisi selama ini yang dikenal umum yaitu Phinisi, adalah rangkaian kata yang salah. Mengapa? Lidah masyarakat setempat tidak mampu mengucapkan "Phi" (baca: phi) melainkan "Pi" (baca: pi), kata Phinisi sendiri diperkenalkan sama orang Belanda sehingga aksen penyebutannya berbeda. Jadi, yang benar adalah Pinisi. Yey! :D

       Sekian dulu yah tentang Pinisi. Pinisi jilid II akan segera terbit.... Selamat menikmati.

Sumber:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Pinisi
2. http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/kapal-pinisi
3. Pinisi, Arif Saenong.

No comments:

Post a Comment