Seperti hujan, aku tidak pernah menyesal walau tahu rasanya jatuh berkali-kali. Sebut ini suatu kegilaan dalam mencintaimu, atau mungkin sikap obsesi. Sudahlah! Yang aku tahu, aku terus jatuh cinta denganmu, tanpa alasan, tanpa sebab, namun berakibat.
Punggungmu selalu membelakangiku, matamu tidak pernah menatap dalam melihatku, seperti angin lalu, menggugurkan dedaunan tanpa menoleh kembali. Aku masih disini, sedikitpun cintaku tidak berkurang. Rasaku masih bertahan seperti pertemuan awal kita. Sederhana, tapi tersisa jejak disana.
Kita berkisah tentang hidup, mendongeng tentang mimpi dan bercerita tentang filosofi. Fokusku tak teralihkan sedetikpun, bukan untuk memahami setiap baris kalimat yang keluar dari bibirmu, tapi mencermati garis-garis wajahmu yang selalu menjadi bayang dalam setiap tidurku.
Kaki kita melangkah dengan irama yang sama, tangan kita terayun bermelodi. Tawa kita pecahkan keheningan langit semesta yang diam mengiba menatapku. Cinta sesederhana itu kan? Cukup aku senang denganmu, bahagia bersamamu walau sejenak. Ironi memang, aku terjerat dalam pesona fantasi keindahan cinta yang pujangga agungkan.
Aku mematenkan hatiku milikmu walau ku tahu kau tidak mungkin akan menyambutnya bahkan membiarkannya jatuh terburai. Bagaimana mungkin kau memegang dua hati dalam waktu bersamaan? Tahukah kau, namamu tercantum dalam daftar mimpi-mimpi mega ku. Perasaanku tidak sebercanda lelucon para komedikan. Ini nyata, ini tulus, ini agung dan ini apa adanya.
Tiada kata, aku masih menunggumu di ujung jalan ini. Berkelanalah hingga jiwamu merasa puas. Berpetualanglah kepada merpati-merpati yang akan kau tawarkan cinta dan kebahgiaan. Aku? Masih di ujung jalan ini, namun ketika tatapanku melihat kau tersungkur dan jatuh, tanpa menghiraukan segalanya, aku akan berlari sekencang mungkin untuk menggapaimu. Kembali menjadi tempat pemberhentian sementaramu, dan masih melonggarkan hatiku mendengar pujaanmu terhadap merpati yang engkau singgahi.
Ini diluar logika. Tapi bukankah cinta menghandalkan perasaan? Bukankah hatiku yang memujamu? Bukankah kebahgiaanku di kamu? Persetan dengan kalimat-kalimat yang menyuruhku berhenti. Aku akan terus menarik kedua bibirmu untuk selalu tersenyum walau dunia akan menjatuhkanmu dengan sejuta caranya sendiri.
Berbahagialah dengan merpatimu yang sekarang, sangkarmu ada disini. Tidak akan pernah terganti dengan yang lain. Aku sendiri tidak tahu kapan akhir waktuku, yang aku tau, cintaku tetap untukmu hingga ia melukiskan sendiri aurora di dinding langit sebagai bukti aku pernah mencintaimu dengan sangat.
Untukmu, aku terus memperjuangkan 'kita'.

No comments:
Post a Comment